REKONSILIASI FISKAL (KOREKSI FISKAL)

Penghitungan pajak penghasilan terutang pada akhir tahun
Proses penghitungan dan pembayaran PPh dalam satu tahun pajak dapat dilakukan:
Image by William Iven from Pixabay

1. Dalam tahun berjalan:
  1. Dipotong pihak lain, missal : PPh Pasal 21, 22,23,24, 4(2)
  2. Dibayar sendiri, missal : PPh Pasal 25
2. Di akhir tahun, missal PPh Pasal 29, 28 A.

Pernghitungan dan pembayaran pajak di akhir tahun dilakukan oleh ;
  • Wajib Pajak orang pribadi
  • Wajib Pajak Tertentu
  • Wajib Pajak badan
Penghitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak:

1. Penghitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tanpa menggunakan Norma maupun Pembukuan. Penghitungan ini hanya digunakan Wajib Pajak orang pribadi yang penghasilannya hanya diperoleh dari satu/lebih pemberi kerja. Atas penghasilan yang ia terima dari pemberi kerja sudah dipotong PPh Pasal 21 dengan bukti potong berupa form 1721 A1. Penghitungan PPh di akhir tahun umumnya akan menghasilkan angka NIHIL dan SPT yang akan diisi adalah form 1770 S dengan dilampiri form 1721 A1 dari pemberi kerja.

2. Penghitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma penghitungan Penghasilan Neto. Penghitungan ini digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha/pekerjaan bebas dengan peredaran usaha belum melebihi Rp 4.800.000.000,- dalam satu tahun. Namun bila dia memilih pembukuan juga diperbolehkan . 
Cara menghitung PPh- nya sbb.:
  • Peredaran usaha selama 1 tahun  X prosentase norma = penghasilan netto dari usaha
  • Penghasilan netto dari usaha + penghasilan netto dari pekerjaan = jumlah penghasilan netto
  • Jumlah penghasilan netto – PTKP – zakat = penghasilan kena pajak.
  • Penghasilan kena pajak  X tarif pajak = pajak terutang
  • Pajak terutang – kredit pajak = PPh kurang bayar/PPh lebih bayar (PPh Pasal 29 /28 A)
3. Penghitungan PPh akhir tahun bagi pengusaha tertentu (bersifat final). Yang dimaksud pengusaha tertetu di sini adalah orang pribadi yang semata – mata melakukan kegiatan usaha yang outletnya tersebar di beberapa wilayah KPP yang berbeda. Wajib Pajak ini mempunyai kewajiban menyetor PPh pasal 25 di masing – masing KPP dimana outletnya berada dan PPh Pasal 25 tersebut bersifat final dalam arti di akhir tahun pengusaha tersebut penghitungan pajaknya NIHIL.

4. Penghitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan
Apabila Wajib pajak orang pribadi peredaran usahanya dalam setahun telah melebihi                            Rp 4.800.000.000,- maka penghitungan pajak di akhir tahun wajib menggunakan pembukuan.
Cara menghitung PPh akhir tahun dilakukan sbb.:
  • Laba akuntansi (laba komersial) disesuaikan/direkonsiliasi dengan ketentuan fiskal (koreksi fiskal) = laba fiskal
  • Laba fiskal – zakat -  kompensasi kerugian – PTKP  = penghasilan kena pajak
  • Penghasilan kena pajak  X  tarif pajak  =  pajak terutang
  • Pajak terutang – kredit pajak  =  PPh kurang bayar/PPh lebih bayar (PPh pasal 29/28 A)
5. Norma penghitungan khusus bagi Wajib Pajak tertentu. Penghitungan PPh akhir tahun yang menggunakan norma khusus ini khusus untuk perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran dan penerbangan di dalam negeri.

6. Penghitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak badan. Cara menghitung PPh akhir tahun bagi Wajib pajak badan wajib didasarkan atas pembukuan/akuntansi.
Cara menghitung pajaknya sbb.:
  • Laba akuntansi (laba komersial) disesuaikan/direkonsiliasi dengan ketentuan fiskal (koreksi fiskal) = laba fiskal
  • Laba fiskal – kompensasi kerugian = penghasilan kena pajak
  • Penghasilan kena pajak  X  tarif pajak  =  pajak terutang
  • Pajak terutang – kredit pajak = PPh kurang bayar/PPh lebih bayar (PPh Pasal 29/28 A)   
Rekonsiliasi Fiskal 

Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah suatu proses penyesuaian atas laba akuntansi yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan netto/laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan.
 
Perhitungan PPh akhir tahun bagi Wajib Pajak badan dan orang pribadi yang memilih/wajib menggunakan pembukuan didasarkan laba rugi  fiskal. Laba rugi fiskal disusun berdasarkan laba rugi komersial/akuntansi yang telah disesuaikan dengan peraturan perpajakan melalui rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal tersebut akan mengakibatkan adanya koreksi fiskal (koreksi fiskal positif akan mengakibatkan bertambahnya laba fiskal, sebaliknya koreksi fiskal negative akan memperkecil laba fiskal).    

Rekonsiliasi laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal

Rekonsiliasi fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan netto/laba yang sesuai dengan ketentuan pajak. Rekonsilisasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi dan keadaan finansial dari sektor swasta, sedangkan laporan keuangan fiskal lebih ditujukan untuk menghitung pajak. Penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan  fiskal adalah karena terdapat perbedaan prinsip akuntansi, perbedaan metode dan prosedur akuntansi, perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya, serta perbedaan perlakuan penghasilan dan biaya.

Jika suatu entitas (Wajib Pajak) harus menyusun dua laporan keuangan yang berbeda, maka disamping terdapat pemborosan waktu, tenaga, dan uang juga akan terjadi tidak tercapainya tujuan menghindari manipulasi pajak. Menurut Bambang Kesit (2001), untuk mengatasi masalah tersebut digunakan beberapa pendekatan dalam penyusunan laporan keuangan fiskal, yaitu:
  1. Laporan keuangan fiskal disusun secara beriringan dengan laporan keuangan komersial.
  2. Laporan keuangan fiskal disusun secara terpisah/ekstrakomtabel dengan laporan keuangan bisnis.
  3. Laporan keuangan fiskal disusun dengan menyisipkan ketentuan-ketentuan pajak dalam laporang keuangan bisnis.
Untuk menjembatani adanya perbedaan tujuan kepentingan laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiskal serta tercapainya tujuan efisiensi maka lebih dimungkinkan untuk menetapkan pendekatan yang kedua. Perusahaan hanya menyelenggarakan pembukuan menurut akuntansi komersial, tetapi apabila akan menyusun laporan keuangan fiskal barulah menyusun rekonsiliasi terhadap laporan keuangan komersial tersebut.

Perbedaan Prinsip Akuntansi 

Prinsip akuntansi berdasarkan Standar Akuntansi keuangan (SAK) yang telah diakui secara umum tetapi tidak diakui dalam fiskal adalah :
1. Prinsip konservatisme

Menurut prinsip konservatisme,akuntansi komersial mengakui : penilaian persediaan akhir berdasarkan metode terendah antara harga pokok dan nilai realisasi bersih, antara penilaian piutang dan nilai taksiran realisasi bersih, tetapi akuntansi fiskal tidak mengakui.

2. Prinsip harga perolehan

Menurut prinsip harga perolehan, penentuan harga perolehan untuk barang yang diproduksi sendiri menurut akuntansi komersial boleh memasukkan unsur biaya tenaga kerja berupa natura, tetapi akuntansi fiskal pengeluaran dalam bentuk natura tidak diakui sebagai beban.

3. Prinsip penandingan biaya manfaat

Menurut prinsip penandingan biaya manfaat, akuntansi komersial mengakui penyusutan pad saat asset tersebut menghasilkan, sedangkan akuntansi fiskal, penyusutan dapat dimulai walaupun belum menghasilkan.

Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi

Perbedaan penggunaan metode dan prosedur akuntansi komersial dan akuntansi fiskal :

1. Metode penilaian persediaan

Akuntansi komersial memperbolehkan memilih beberapa metode penentuan harga perolehan persediaan missal rata – rata (average), FIFO (First In – First Out),LIFO (Last In – First Out), pendekatan laba bruto, pendekatan harga jual eceran dan lain- lain, tetapi akuntansi fiskal hanya dua metode yang diperbolehkan yaitu rata – rata (average) atau FIFO.

2. Metode penyusutan dan amortisasi 

    1. Akuntansi komersial boleh memilih metode penyusutan asset tetap, tetapi akuntansi fiskal metode penyusutan hanya dapat memilih metode garis lurus (straight line method) atau metode saldo menurun (declining balanced method) dan khusus untuk berupa bangunan hanya boleh menerapkan metode garis lurus.
    2. Dalam Akuntansi komersial, manajemen menetukan taksiran umur ekonomis suatu asset, sedangkan dalam fiskal, umur ekonomis suatu asset ditetapkan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan.
    3. Dalam akuntansi komersial mengakui adanya nilai residu, tetapi akuntansi fiskal tidak mengakui nilai residu.
3. Metode penghapusan piutang

Penghapusan piutang akuntansi komersial ditentukan berdasarkan metode cadangan, sedangkan pada akuntansi fiskal    dilakukan pada saat piutang tidak ditagih dengan syarat tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan. Pembentukan cadangan dalam fiskal hanya diperbolehkan untuk usaha – usaha tertentu, missal bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, usaha asuransi, dan usaha pertambangan dengan jumlah yang dibatasi oleh peraturan perpajakan.

Perbedaan yang berasal dari Penghasilan
    1. Kerugian suatu usaha di luar negeri, dalam akuntansi komersial dapat mengurangi laba bersih tetapi dalam fiskal tidak dapat dikurangkan .
    2. Kerugian usaha dalam negeri tahun sebelumnya, dalam akuntansi komersial, kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam penghitungan laba bersih tahun sekarang, sedangkan dalam fiskal, kerugian dapat dikurangkan terhadap penghasilan kena pajak selama 5 tahun dan jika setelah 5 tahun masih terdapat sisa kerugian maka sisa kerugian itu tidak dapat dikurangkan .
    3. Imbalan dengan jumlah melebihi kewajaran. Imbalan yang diterima atas pekerjaan yang dilakukan pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan jumlah yang melebihi kewajaran di fiskal tidak boleh dibebankan.
Perbedaan Tetap dan Perbedaan Sementara

Beda permanen dan temporer

Perbedaan penghasilan dan biaya /pengeluaran menurut akuntansi dan menurut fiskal dapat dikelompokkan menjadi beda tetap/permanent (permanent differences) dan beda waktu/sementara (timing differences).

Beda Tetap/ Permanen

Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku dengan Standar Akuntansi Keuangan yang bersifat permanen. Artinya penghasilan atau biaya yang demikian tidak akan diakui untuk selamanya dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak. Contoh: pemberian kenikmatan/natura kepada karyawan, sumbangan, biaya jamuan makan,pendapatan bunga, pembayaran dividen.

Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya menurut akuntansi dengan menurut pajak, yaitu adanya penghasilan dan biaya yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau sebaliknya. Beda tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal (taxable income). Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan Penghasilan Kena Pajak:
    1. Penghasilan yang telah dikenakan PPh final (pasal 4 ayat 2 UU PPh)
    2. Penghasilan yang bukan Objek pajak (pasal 4 ayat 3 UU PPh)
    3. Pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta pengeluaran yang sifat pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran (pasal 9 ayat 1 UU PPh).
Beda Tetap (Permanen) terdiri dari:

a. Beda Tetap Penghasilan

1) Penerimaan menurut PSAK merupakan penghasilan tetapi undang – undang Pajak Penghasilan (PPh) bukan penghasilan. Contoh: Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
    1. Dividen berasal dari cadangan laba ditahan
    2. Bagian perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
2) Penerimaan yang menurut SAK bukan merupakan penghasilan tetapi menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) merupakan penghasilan. Contohnya: penerimaan hibah atau bantuan dari pihak-pihak yang ada hubungan istimewa.
3) Penghasilan yang dikenakan pemungutan pajak bersifat final

b.Beda Tetap Biaya
    1. Pengeluaran yang menurut PSAK merupakan beban tetapi menurut UU PPh tidak boleh dikurangi penghasilan bruto.
    2. Biaya yang tidak ada hubungan langsung untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, .
    3. Biaya untuk mendapat, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan PPh Final
    4. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh .
    5. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan dibidang perpajakan.
    6. Kerugian karena penjualan/pengalihan aktiva dan/atau hak yang dimiliki yang tidak dipergunakan dalam kegiatan usaha dan dalam rangka mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
    7. PPh Pasal 21 dan 26 yang ditanggung oleh pemberi penghasilan kecuali dalam menghitungnya menggunakan metode groos up.
c. Beda Tetap  yang disebabkan tidak dipenuhi syarat-syarat khusus:

Yaitu suatu penghasilan atau biaya baru akan diakui berbeda sepanjang tidak memenuhi syarat – syarat pengakuannya dalam ketentuan perpajakan. namun jika memenuhi ketentuan perpajakan maka perbedaan yang timbul dalam pengakuan menurut fiskal akan menjadi hilang dan pengakuannya akan sama dengan pengakuan menurut prinsip akuntansi. contoh:
    1. Biaya perjalanan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya perjalanan pegawai peusahaan untuk kepentingan perusahaan yang dilengkapi dengan bukti – bukti yang sah, misal: surat tugas, tiket, kwitansi hotel, atau pembayaran ke biro perjalanan. Uang saku dalam perjalanan dinas merupakan objek PPh Pasal 21 dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
    2. Biaya promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya promosi yang didukung bukti pemuatan iklan, pembuatan barang – barang promosi harus dibedakan dengan sumbangan.
    3. Biaya Entertaiment yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya entertainment yang benar dikeluarkan ada hubungannya dengan kegiatan usaha Wajib Pajak dan dibuatkan daftar normative (dilampirkan di SPT Tahunan PPh). Isi daftar normatif meliputi: Nomor urut, Tanggal, Nama Tempat, Alamat, Jenis dan Jumlah Entaiment yang diberikan, serta Nama, Posisi, Nama Perusahaan dan Jenis Usaha Relasi yang dijamu.
    4. Biaya penelitian dan pengembangan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah usaha yang dilakuakan di Indonesia.
    5. Kerugian piutang usaha kecuali Bank dan Sewa Guna Usaha (SGU), piutang yang dapat dihapuskan adalah piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dan dibuatkan daftar normative (dilampirkan di SPT Tahunan PPh).
    6. Beda Tetap yang disebabkan praktek – praktek akuntansi yang tidak sehat:
      • Keperluan pribadi pemilik atau pemegang saham dan keluargannya yang dibayar perusahaan dan dibukukan sebagai beban usaha.
      • Keperluan pribadi pegawai perusahaan yang dibayar perusahaan dan dibukukan sebagai beban usaha
Beda Waktu/Sementara

Adalah perbedaan pengakuan pendapatan dan beban tertentu menurut Standar Akuntansi Keuangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perbedaan ini menyebabkan pergeseran pengakuan pendapatan atau beban antara satu tahun pajak ke tahun pajak lainnya. 

Contoh : penyusutan aktiva tetap, pengakuan terhadap piutang dan persediaan.
Beda waktu biasanya timbul karena perbedaan yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal:
    • Akrual dan realisasi
    • Penyusutan dan amortisasi
    • Penilaian persediaan
    • Kompensasi kerugian fiskal
Contoh Beda Waktu/Sementara:
    1. Penyusutan/amortisasi
    2. Penilaian persediaan
    3. Rugi laba selisih Kurs
    4. Rugi laba atas penyertaan saham
    5. Kerugian piutang kecuali bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan utnuk usaha asuransi, cadangan reklamasi usaha pertambangan.
    6. Tagihan atau hutang dalam valuta asing
    7. Harta berwujud dan tidak berwujud
    8. Biaya pendirian dan perluasan usaha
    9. Biaya sebelum produksi komersial
    10. Biaya dibayar dimuka jangka panjang
    11. Pencadangan kewajiban bersyarat atau cadangan lain
    12. Pengakuan pengahasilan dan biaya atas proyek jangka panjang
    13. Hak penambangan dan hak pengusaha hutan.
Koreksi fiskal positif dan negatif

Dengan adanya beda waktu dan beda tetap laporan keuangan komersial harus dikoreksi terlebih dahulu untuk menghitung penghasilan kena pajaknya. Koreksi ini disebut koreksi fiskal yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu :

a. Koreksi positif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena pajak secara fiskal bertambah, yang selanjutnya berdampak memperbesar nilai pajak penghasilan yang terutang. Koreksi Positif terjadi apabila pendapatan menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasannya dilakukan akibat adanya:
    1. Beban yang tidak diakui oleh pajak (non-deductible expense)
    2. Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiscal
    3. Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiscal
    4. Penyesuaian fiskal positif lainnya
b. Koreksi negatif yaitu koreksi fiskal yang menyebabkan penghasilan kena pajak secara fiskal menjadi berkurang yang selanjutnya berdampak memperkecil penghasilan kena pajak. Koreksi negatif biasanya dilakukan akibat adanya:
    1. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak
    2. Penghasilan yang dikenakan PPh final
    3. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
    4. Penyesuaian fiskal negatif
Objek Pajak Penghasilan

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima/ diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi/ untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk ;

1. Penggantian/ imbalan berkenaan dengan pekerjaan/ jasa yang diterima/diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun/ imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU ini.
2. Hadiah dari undian/ pekerjaan/ kegiatan dan penghargaan.
3. Laba usaha.
4. Keuntungan karena penjualan/ karena pengalihan harta termasuk :
  • Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan badan lainnya sebagai pengganti saham/ penyertaan modal.
  • Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu/ anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya.
  • Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha/ reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
  • Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan/ sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi/ orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan badan usaha, pekerjaan, kepemilikan/ penguasaan diantara pihak – pihak yang bersangkutan; dan 
  • Keuntungan karena penjualan/ pengalihan sebagian/ seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan/ permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebaskan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
8. Royalti/ imbalan atas penggunaan hak.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan/ perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima/ diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha/ pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
19. Surplus Bank Indonesia.

Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap 

1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan Bentuk Usaha Tetap (BUT) tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai (Penghasilan BUT sendiri)
2. Penghasilan kantor pusatnya dari usaha atau kegiatan penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan/dilakukan oleh BUT di Indonesia (penghitungan berdasarkan pendekartan force of attaction/berdasarkan fakta, penarikan paksa). Hal ini karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan kantor pusat di Indonesia tersebut termasuk dalam lingkup usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap. 
Misal :
  • Sebuah bank di luar negeri yang memiliki cabang (BUT) di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT kepada perusahaan di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan sehubungan dengan pemberian pinjaman oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penghasilan BUT.
  • Sebuah perusahaan di luar negeri yang memiliki BUT di Indonesia menjual produk yang sama dengan yang dijual oleh BUT secara langsung tanpa melalui BUT – nya kepada pembeli di Indonesia. Dalam hal ini, penjualan yang dilakukan oleh kantor pusat tersebut diakui sebagai penjualan BUT di Indonesia.
3. Penghasilan berupa deviden, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungasn dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa (imbalan sehubungan dengan penggunaan harta), imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan (kegiatan), hadiah/penghargaan, pensiunan/ pembayaran berkala lainnya, yang diterima oleh kantor pusat (wajib pajak luar negeri 0 dari Indonesia, sepanjang terdapat buhungan efektif antara BUT – nya dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak adalah :

1. a. Bantuan/sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat/ lembaga amil zakat yang dibentuk/ disahkan oleh Pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak/ sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk/ disahkan oleh pemerintah, dan ;

b.Yang diterima olah penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan berdasarkan Peraturan Pemerintah, dan ;
c. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi/ orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan/ berdasarkan peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan/ penguasaan di antara pihak – pihak yang bersangkutan.

2. Warisan.

3. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham/ sebagai pengganti penyertaan modal.

4. Penggantian/ imbalan sehubungan dengan pekerjaan/ jasa yang diterima/ diperoleh dalam bentuk natura/ kenikmatan dari wajib pajak/ pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final/ wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)

5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.

6. Deviden/ bagian laba yang diterima/ diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara/ badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
  • Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan, dan;
  • Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima deviden kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
7. Iuran yang diterima/ diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.

8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

9. Bagian laba yang diterima/ diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

10. Penghasilan yang diterima/ diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha/ kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
  • Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah/ yang menjalankan kegiatan dalam sektor – sektor usaha yang diatur dengan/ berdasarkan peraturan Menteri Keuangan, dan ;
  • Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia
11. Beasiswa  yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan/ berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.

12. Sisa lebih yang diterima/ diperoleh badan/ lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/ bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/ penelitian dan pengembangan dalam jangka waktu paling lama 4 tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan/ berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.

13. Bantuan/santunan yang dibayarkan oleh badan penyelenggara jaminan sosial kepada wajib pajak tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Penghasilan kena pajak bagi wajib Pajak dalam negeri dan BUT besarnya ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :
1. Biaya yang langsung/tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain :
  • Biaya pembelian bahan.
  • Biaya berkenaan dengan pekerjaan/jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang.
  • Biaya perjalanan.
  • Biaya pengolahan limbah.
  • Bunga, sewa, dan royalty.
  • Premi asuransi.
  • Biaya promosi dan penjualan yang diatur berdasarkan peraturan Menteri Keuangan. 
  • Biaya administrasi.
  • Pajak, kecuali Pajak penghasilan.
2. Penyusutan atas pengeluaran perolehan harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran peroleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan/pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan/yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
5. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
6. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
7. Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
  • Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
  • Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tak dapat ditagih kepada DirJen Pajak.
  • Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri/Instansi Pemerintah yang menangani piutang negara/adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan,/telah dipublikasikan dalam penerbitan umum/khusus,/adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu.
  • Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.
8. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
9. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10. Sumbangan fasilitas Pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan Pemerintah.
11. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
12. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
13. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun).

Berikut biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan BUT:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun seperti deviden, termasuk deviden yang dibagikan oleh perusahaan asuransi oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

2. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,/anggota.

3. Pembentukan/pemupukan dana cadangan, kecuali :
  • Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
  • Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial.
  • Cadangan penjaminan untuk Lembaga penjamin simpanan.
  • Cadangan biaya reklamasi untuk usaha penambangan.
  • Cadangan biaya penanaman Kembali untuk usaha kehutanan.
  • Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industry untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat- syaratnya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4. Premi asuransi Kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.

5. Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian/imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham/kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

7. Harta yang dihibahkan, bantuan/ sumbangan, dan warisan, kecuali :
  • Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan.
  • Zakat yang diterima oleh badan amil zakat/lemabga amil zakat yang dibentuk/disahkan oleh Pemerintah.
  • Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh Lembaga keagamaan yang dibentuk/disahkan oleh Pemerintah.
8. Biaya yang dibebankan/dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak/orang yang menjadi tanggungannya.
9. Biaya – biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :
  • Dikenakan PPh bersifat final.
  • Bukan objek PPh.
10. Biaya – biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang PPh nya dihitung dengan menggunkan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

11. Pajak penghasilan.

12. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan di bidang perpajakan.